Feeds:
Posts
Comments

Archive for April, 2007

..:: Gizi dan Hepatitis :..

Dari Buku : The Essential guide to vitamins and minerals, oleh Elizabeth Somer, MA, R.D, diterbitkan tahun 1995 oleh Harper Collins Publisher, Inc .
Liver adalah organ tubuh terbesar dan terpenting, dan yang fungsinya paling bermacam-macam. Kebanyakan gizi makanan yang masuk dalam tubuh langsung masuk ke liver untuk disimpan, diolah kembali, atau dikombinasikan dengan komponen lain.

Kerusakan pada liver memiliki dampak besar pada berbagai proses dalam tubuh, termasuk pencernaan, penyerapan, penyimpanan, dan penggunaan vitamin dan mineral. Selain itu, produksi protein tubuh juga menurun, produksi lemak berubah sehingga menyebabkan terjadinya penumpukan lemak dalam liver. Pembuatan enzym yang penting untuk mendetoksifikasi alkohol dan racun-racun lain juga berkurang sehingga zat-zat ini menumpuk dalam tubuh.
Penyakit Liver menyebabkan malnutrisi karena tiga alasan;

  1. Menghambat/mengganggu pencernaan dan penyerapan makanan.
  2. Mempengaruhi penggunaan gizi dalam tubuh.
  3. Mengurangi pemasukan makanan karena rasa mual, hilangnya selera makan, dan muntah.

Produksi, penggunaan, dan pengeluaran/ekskresi protein, karbohidrat, dan lemak berubah. Dan penyerapan serta penggunaan berbagai vitamin dan mineral berkurang bila liver tidak berfungsi dengan semestinya.

VITAMIN-VITAMIN
Liver memainkan peranan penting dalam beberapa langkah metabolisme vitamin. Vitamin terdiri dari vitamin-vitamin yang larut dalam lemak (fat-soluble) seperti vitamin A, D, E dan K atau yang larut dalam air (water-soluble) seperti vitamin C dan B-complex.
Para pasien dengan penyakit liver tahap lanjut mungkin menjadi kekurangan vitamin-vitamin yang larut dalam air, tetapi ini biasanya terjadi karena masukan makanan dan gizi yang kurang/tidak layak. Penyimpanan vitamin B12 biasanya jauh melebihi kebutuhan tubuh; kekurangan (defisiensi) jarang terjadi karena penyakit liver atau gagal liver. Tetapi, ketika masukan gizi makanan menurun, biasanya tubuh juga kekurangan thiamine dan folate. Biasanya suplemen oral cukup untuk mengembalikan thiamine dan folate ke level normal.
Vitamin-vitamin yang larut dalam lemak tidak hanya membutuhkan masukan gizi makanan yang cukup tetapi juga pencernaan yang baik serta penyerapan yang baik oleh tubuh. Itulah sebabnya produksi bile dalam jumlah normal sangat penting. Bile di dalam perut/usus dibutuhkan untuk penyerapan vitamin-vitamin larut lemak ini kedalam tubuh karena vitamin-vitamin ini biasanya tidak dapat larut dalam air. Bile bekerja sebagai deterjen , memecah-mecah dan melarutkan vitamin-vitamin ini agar mereka dapat diserap tubuh dengan baik.
Jika produksi bile buruk, suplemen oral vitamin-vitamin A, D, E, K mungkin tidak akan cukup untuk mengembalikan level vitamin ke level normal. Penggunaan larutan serupa deterjen dari vitamin E cair (TPGS) meningkatkan penyerapan vitamin E pada pasien dengan penyakit liver tahap lanjut. Larutan yang sama juga dapat memperbaiki penyerapan vitamin A, D, dan K jika vitamin K diminum secara bersamaan dengan cairan vitamin E.
(
sumber: “Living with Hepatitis C: A Survivor’s Guide” by Gregory T. Everson, M.D., and Hedy Weinberg. 1997, Hatherleigh Press)

VITAMIN A
Pemasukan vitamin A dalam jumlah cukup dapat membantu mencegah penumpukan jaringan sel yang mengeras, yang merupakan karakteristik penyakit liver. Tetapi penggunaan vitamin yang fat-soluble ini untuk jangka waktu panjang dan dengan dosis berlebihan dapat menyebabkan pembengkakan liver dan penyakit liver.

VITAMIN E
Vitamin E dapat mencegah kerusakan pada liver dan sirosis, menurut para ahli di Universitas Turin di Italia. Mereka mengadakan percobaan dengan memberi suplemen vitamin E pada tikus-tikus dalam jumlah yang meningkatkan konsentrasi vitamin E liver. Tikus-tikus itu kemudian diberi karbon tetraklorida untuk mengetes apakah perawatan dengan vitamin E yang dilakukan sebelumnya dapat melindungi mereka baik dari kerusakan liver akut/kronis dan sirosis. Suplemen vitamin E meningkatkan kandungan vitamin dalam tiga bagian liver dan mengurangi kerusakan oxidative pada sel-sel liver, tetapi tidak memiliki dampak perlindungan apapun pada infiltrasi lemak liver. Sirosis juga tampak dapat dicegah dalam kelompok tikus yang diebri suplemen vitamin E. Tampaknya vitamin E memberi cukup perlindungan terhadap nekrosis akibat karbon tetraklorida dan sirosis, mungkin dengan mengurangi penyebaran proses oksidasi lipid dan mengurangi jangkauan kerusakan oksidatif liver.

VITAMIN K
Vitamin K dalam dosis tinggi dapat menyebabkan jaundice dan kerusakan sel-sel otak pada janin/bayi.

BETA KAROTEN
Level beta karoten dalam tubuh pasien-pasien dengan sirosis liver sangat rendah, sebaliknya diet dengan beta karoten yang tinggi dapat mengurangi kerusakan liver. Sirosis liver seringkali diasosiasikan dengan meningkatnya aktivitas komponen-komponen berbahaya yang disebut radikal bebas yang dapat meningkatkan risiko kanker hati. Sebagai antioksidan, beta karoten dapat mencegah terbentuknya radikal-radikal bebas yang mungkin berbahaya.

NIACIN
Meskipun hypercholesterolemia (adanya kolesterol yang berlebihan di dalam darah) dapat dirawat secara efektif dengan niacin, para peneliti di Virginia Commonwealth University memperingatkan bahwa bentuk sustained-release niacin adalah hepatotoxic (sifatnya beracun bagi liver) bentuk immediate-release juga dapat menimbulkan efek samping negatif.

BIOTIN
Penggunaan biotin dalam dosis besar untuk waktu yang lama dapat menyebabkan pembesaran yang abnormal pada liver.

CHOLINE
Kerusakan pada liver mungkin merupakan tanda kekurangan choline. Fragmen-fragmen lemak menumpuk dalam liver karena triglycerides harus dikemas sebagai VLDL (very low density lipoprotein) untuk dapat dipindahkan dari liver, tetapi VLDL membutuhkan phosphstidylcholine untuk dapat berfungsi. Akibatnya, VLDL tidak dapat dipindahkan dari liver selama tubuh masih kekurangan choline. Orang-orang yang dietnya kurang choline menunjukkan disfungsi enzym liver dan meningkatnya kolesterol darah dalam waktu tiga minggu. Gejala-gejala ini berbalik dalam waktu dua sampai enam minggu setelah suplementasi lecithin, yang meningkatkan level choline dalam darah.

COPPER (TEMBAGA)
Gangguan penggunaan tembaga yang bersifat keturunan yang disebut Wilson’s disease dikarakterisasikan dengan penumpukan tembaga yang berlebihan di sel-sel tubuh dan mengakibatkan menurunnya fungsi liver. Perawatan untuk Wilson’s disease mencakup juga diet yang rendah akan tembaga dan pengobatan dengan penicillamine yang mengikat pada tembaga dan meningkatkan ekskresinya dalam usus.

SELENIUM
Suatu penelitian menunjukkan bahwa orang-orang dengan atau tanpa penyakit liver memiliki masukan selenium dalam jumlah yang sama, tetapi orang-orang dengan penyakit liver memiliki jumlah yang lebih rendah dari mineral tersebut dalam liver dan darah.
Akibat nutrisional lain dari penyakit liver antara lain adalah berkurangnya pembentukan vitamin D, yang dapat mengakibatkan osteoporosis, peningkatan hilangnya vitamin B6 dan kemungkinan adanya gangguan dan kekurangan pembentukan protein yang mengangkut vitamin A dalam darah. Sebagai tambahan, tubuh akan semakin mungkin kekurangan dan kehilangan folic acid, kalsium, magnesium, dan zat besi.

source Yakita

Read Full Post »

Gula berlebih Ancam Liver

Gula Berlebih Ancam Liver

KECURIGAAN bahwa minuman ringan (soft drink) yang mengandung gula berperan besar dalam perkembangan penyakit liver, bertambah kuat. Hal itu menyusul hasil penelitian yang dilakukan Dr. Ina Berghein dari Universitas Hohenheim, Jerman. Berghein dan rekan-rekannya menguji dampak air yang diberi gula pada liver tikus. Sebagian tikus memiliki akses bebas ke air gula, sebagian lagi diberi cairan berisi pemanis buatan. Hasilnya, tikus yang diberi minuman berkadar gula ternyata makan lebih sedikit. Namun, memiliki konsumsi kalori total lebih banyak dan berat badannya bertambah. Pemeriksaan liver hewan tersebut memperlihatkan, penyakit liver akibat lemak lebih umum ditemukan dalam kelompok yang diberi air gula, terutama ketika tikus itu mendapat jenis gula yang disebut fruktosa. “Data ini mendukung perkiraan bahwa konsumsi fruktosa dalam jumlah besar bukan hanya merusak liver melalui konsumsi yang berlebihan, tapi mungkin secara langsung meracuninya,” demikian kesimpulan kelompok Bergheim seperti dilaporkan dalam pertemuan tahunan “American Association for the Study of Liver Diseases (AASLD)” di Boston, AS. Studi ini menyarankan, penyakit liver bukan hanya konsekuensi dari kegemukan atau konsumsi lemak, tapi gula juga menjadi salah satu penyebabnya. (sri/ant)*

 Source Pikiran Rakyat

Read Full Post »

Beberapa waktu yang lalu ada yang menanyakan mengenai efek Kopi dan Teh terhadap Liver. Saya yang termasuk penggemar Kopi dan Teh Hijau jadi tertarik untuk mencari berita berita mengenai kemunkinan kopi dan teh bisa membantu kerja Liver, minimal merawat dan mencegah sakit liver saya kambuh deh.

Kemudian saya menemukan berita dari KANTOR BERITA REUTERS, yang memuat artikel mengenai CAFFEIN, kandungan kimia yang ada di dalam kopi dan teh, yang memiliki hubungan dengan pengurangan resiko sakit Liver.

Berikut copy beritanya :

Caffeine linked to reduced risk of liver damage

Last Updated: 2004-05-19 13:30:05 -0400 (Reuters Health)

NEW ORLEANS (Reuters Health) – Coffee and other caffeinated beverages may provide some protection from liver damage in people at increased risk for liver disease, according to research findings presented here at Digestive Disease Week.

Using data from the third US National Health and Nutrition Examination Survey, conducted between 1988 and 1994, Drs. James E. Everhart and Constance E. Ruhl extracted information regarding caffeinated beverage consumption, as well as risk factors for and evidence of liver disease, indicated by serum levels of alanine aminotransferase (ALT) > 43 U/L.

They identified nearly 6000 adults out of 16,000 total with such risk factors as viral hepatitis, obesity, diabetes, iron overload or heavy alcohol use, Dr. Everhart said during a press conference. Altogether, 8.7% of those at risk had elevated ALT levels.

Compared with subjects who did not drink coffee, the risk for high ALT levels was nearly halved among those who drank more than two cups per day (odds ratio 0.56, after adjusting for age, gender, race and smoking history).

For overall caffeine consumption, those in the highest quintile (> 373 mg/day), the adjusted odds ratio was 0.31 (p < 0.001) compared with those who abstained from drinks containing caffeine.

“In the lowest quintile, about 12% had high ALT levels, compared with about 45 among those in the fifth quintile,” said Dr. Everhart, who is chief medical officer of the Epidemiology and Clinical Trials Division of Digestive Diseases and Nutrition at the National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK).

He noted that these findings are not sufficient for making recommendations regarding caffeine intake, especially since caffeine may have other deleterious effects, but “they should stimulate clinical trials.”

As to a possible mechanism, he told Reuters Health, previous research has shown that one of caffeine’s primary metabolic effects is blockade of adenosine receptors. The acute effect of this blockade is stimulation of the immune system that could protect the liver, “but we don’t know what the chronic effects are,” in terms of how caffeine affects liver function, he added.

Digestive Disease Week is jointly sponsored by the American Association for the Study of Liver Diseases, the American Gastroenterological Association, the American Society for Gastrointestinal Endoscopy, and the Society for Surgery of the Alimentary Tract.

Copyright © 2004 Reuters Limited. All rights reserved. Republication or redistribution of Reuters content, including by framing or similar means, is expressly prohibited without the prior written consent of Reuters. Reuters shall not be liable for any errors or delays in the content, or for any actions taken in reliance thereon. Reuters and the Reuters sphere logo are registered trademarks and trademarks of the Reuters group of companies around the world.

source dari Reuters

source dari health.dailynewscentral

Read Full Post »

No Medicine At All

Yes,

Saya sedang melakukan testing terhadap tubuh saya sendiri. Saya tidak minum gamat, tidak minum temulawak + kunir putih, tidak minum amaropo, tidak berenang, tidak jogging, dan setiap hari berkendaraan motor pulang dan pergi ke kantor 60KM. Saya test selama 2 bulan-an. Semoga bukan suatu tindakan gila, saya memang benar benar ingin tahu sampai mana saya bisa menahannya. Ada pemikiran dari saya, kalau terlalu sering minum obat malah tidak baik.

Awal awal memang tidak terasa, tapi semakin lama, tubuh semakin gampang cape. Begitu rasa cape mendera, wuah, rasanya perut itu tidak enak, rasanya bagaimana begitu, susah saya menjelaskan, kembung tidak, tapi rasanya isinya perut itu seperti di aduk, begitu kali ya. Jam 8 malam itu biasanya muncul rasa tidak enak di perut. Kalau sudah seperti itu, pasti saya tidur lebih cepat.

Dan rasa tidak enak itu bisa muncul terus, walaupun tidak seharian. Akhir akhir ini kalau muncul rasa tidak enak di perut, sekitar sore menjelang malam. Aduh rasanyaaa, pengen berbaring saja. Dan terus terang hal ini mulai mengkhawatirkan saya. Apa mungkin saya bisa tetap survive tanpa harus minum obat obatan itu ? atau saya harus meminumnya terus ? efek apa yang akan timbul di kemudian hari ?

Jadi kesimpulan sementara, saya paling tidak setiap hari saya usahakan minum temulawak + kunir putih. Gamat ? kalau ada uang saya beli lagi.. kalau tidak ada ya tidak memaksa. Relatif mahal nih. Sambil saya mencari informasi lain mengenai medicine yang murah dan manjur.

Anda ada info ?

Read Full Post »